Aiden, seorang pria berusia 28 tahun, tumbuh besar di sebuah desa nelayan kecil bernama Teluk Biru, terletak di pinggiran Pesisir Cendrawasih. Dari kecil, hidupnya telah terikat erat dengan laut. Ibunya seorang guru sekolah, dan ayahnya seorang nelayan tangguh, yang selalu mengajaknya melaut setiap pagi untuk mencari ikan. Kenangan masa kecilnya penuh dengan kebebasan; dia dan teman-temannya sering berenang di laut, menyelam ke terumbu karang untuk melihat keindahan bawah laut yang menakjubkan.
Di masa kecil, Aiden mengagumi bagaimana ayahnya mengendalikan kapal nelayan kecil mereka di tengah gelombang. Dari ayahnya, dia belajar tentang cara menghormati laut dan menjaga keseimbangannya. "Laut adalah ibu yang memberi makan kita," kata ayahnya suatu kali, ketika mereka sedang duduk di geladak kapal setelah seharian memancing. "Jika kita tidak menjaganya, dia akan marah, dan kita akan menderita."
Namun, hidup di dekat laut tidak selalu mudah. Pada usia delapan tahun, Aiden mengalami kecelakaan saat menyelam bersama teman-temannya di terumbu karang. Ia terkena potongan karang tajam, melukai lengannya dengan luka yang cukup dalam. Luka itu meninggalkan bekas yang tidak pernah hilang simbol dari ikatan fisik dan emosionalnya dengan laut.
Saat Aiden beranjak remaja, perubahan besar mulai terjadi di Teluk Biru. Peningkatan suhu global menyebabkan laut semakin memanas, dan terumbu karang yang dulu hidup kini mulai memutih, mati perlahan-lahan. Plastik dan sampah lainnya mulai terbawa arus ke pantai, dan nelayan seperti ayahnya mulai kesulitan mendapatkan tangkapan. Aiden yang dulunya selalu melihat laut sebagai tempat keindahan kini mulai menyadari bahwa lautan ini juga bisa mati.
Ayah Aiden, yang dulu selalu penuh energi, mulai menunjukkan tanda-tanda penyakit. Paparan air laut yang semakin tercemar berdampak buruk pada kesehatannya, dan semakin sering ia jatuh sakit. Kehancuran ekosistem laut seolah mencerminkan penurunan kondisi ayahnya. Pada usia 15 tahun, Aiden menyaksikan ayahnya untuk pertama kalinya tidak mampu berlayar. Di sinilah awal dari perjalanan Aiden untuk melindungi laut yang dicintainya. Namun, saat itu ia belum tahu bagaimana caranya.
Setelah lulus sekolah menengah, Aiden memutuskan untuk meninggalkan Teluk Biru, meski hatinya terbelah. Ia tahu bahwa untuk benar-benar membuat perubahan, ia harus mendapatkan pendidikan dan pengalaman di luar desanya. Dengan berat hati, ia meninggalkan ayah dan ibunya, dan pindah ke kota besar untuk melanjutkan pendidikan di bidang ilmu lingkungan dan kelautan.
Di universitas, Aiden bukan hanya belajar dari buku, tetapi juga terjun langsung ke lapangan. Ia melakukan penelitian bersama profesor yang ahli dalam biologi kelautan dan konservasi. Pada suatu proyek penelitian, Aiden diperkenalkan dengan Lila, seorang mahasiswa doktoral yang mempelajari teknologi untuk memulihkan terumbu karang yang rusak. Lila memiliki pendekatan ilmiah yang sangat mendalam dan tidak hanya memikirkan solusi jangka pendek. Mereka berdua segera menjadi teman dekat dan berbagi impian yang sama: menyelamatkan lautan.
Selama masa kuliahnya, Aiden berpartisipasi dalam banyak ekspedisi kelautan. Dia menyelam di bawah permukaan laut untuk mempelajari dampak perubahan iklim dan polusi terhadap kehidupan laut. Ia menyaksikan langsung kematian terumbu karang di berbagai belahan dunia dan melihat betapa cepatnya kerusakan yang terjadi. Perjalanan ke Kepulauan Pasifik menjadi salah satu momen paling membuka matanya. Di sana, ia menemukan terumbu karang yang dulu indah kini telah berubah menjadi lautan abu putih dan mati, karena pemanasan global dan polusi manusia.
Meskipun melihat begitu banyak kehancuran, Aiden tidak patah semangat. Pengalaman ini malah menguatkan tekadnya. Bersama dengan Lila, ia mulai merumuskan proyek besar untuk masa depannya. Mereka membentuk visi bersama tentang teknologi restorasi ekosistem laut dan mulai menyusun rencana untuk mengimplementasikannya suatu hari nanti. Namun, di tengah-tengah semua ambisi ini, pikiran Aiden selalu kembali ke Teluk Biru tempat di mana ia pertama kali jatuh cinta dengan laut.
Setelah sepuluh tahun belajar dan bekerja sebagai konservasionis laut, Aiden memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Teluk Biru kini bukan lagi desa kecil yang indah seperti dulu. Aiden menemukan bahwa teluk ini telah berubah secara drastis, dan bukan ke arah yang lebih baik. Lautan yang dulu jernih kini penuh dengan sampah, pantai yang dulu bersih kini ditutupi oleh lapisan minyak dan limbah. Kehidupan laut yang dulu melimpah kini seolah lenyap.
Yang lebih mengejutkan adalah keberadaan sebuah perusahaan besar bernama OceanTech yang baru-baru ini mendirikan pabrik di dekat Teluk Biru. Mereka berjanji akan membawa pekerjaan dan kesejahteraan bagi penduduk lokal, tetapi kenyataannya, limbah berbahaya yang mereka buang ke laut telah menghancurkan ekosistem lebih cepat daripada sebelumnya. Banyak nelayan kehilangan mata pencaharian mereka, termasuk Damar, sahabat masa kecil Aiden. Damar, yang dulunya adalah nelayan berbakat, kini bekerja sebagai pembeli ikan dari nelayan yang bekerja.
Ketika Aiden mencoba menggali lebih dalam tentang OceanTech, ia menemukan kenyataan yang mengejutkan. Pabrik ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang sangat besar. Mereka menggunakan pengaruh mereka untuk membungkam protes lokal dan memanipulasi pemerintah setempat agar menutup mata terhadap kerusakan yang mereka timbulkan. Kapten Rana, seorang mantan penjaga pantai yang dulu dihormati, kini bekerja sama dengan OceanTech dan bertindak sebagai "penjaga" teluk, tetapi banyak yang curiga bahwa dia telah menerima suap dari perusahaan.
Aiden tahu bahwa ini adalah tantangan yang jauh lebih besar dari yang dia duga. Tidak hanya ekosistem yang harus diselamatkan, tetapi juga korupsi yang telah merasuki masyarakat setempat. Bersama dengan Lila, yang segera bergabung dengannya di Teluk Biru, Aiden memulai proyek penelitian untuk mengumpulkan bukti dampak limbah OceanTech terhadap laut. Mereka menggunakan drone bawah laut, teknologi canggih yang dapat mendokumentasikan kerusakan terumbu karang secara detail. Bukti-bukti ilmiah yang mereka kumpulkan menunjukkan bahwa 80% terumbu karang di sekitar Teluk Biru telah mati, dan jika tindakan tidak segera diambil, seluruh ekosistem laut akan musnah dalam waktu lima tahun.